Bismillah
Semoga Allah ta’ala senantiasa memuliakan
ahlul ‘ilmi karena ilmu yang ada pada mereka, dan semoga Allah ta’ala
ampuni siapapun orannya yang berbicara perihal agama tanpa dibersamai
dengan ilmu. Selanjutnya, kita berharap semoga Allah ta’ala perkenankan
kita untuk senantiasa istiqamah di jalan pencarian ilmu, hingga dengan
ilmu itu kita bisa menjadi semakin menyadari tujuan penciptaan kita di
dunia ini. Tak hanya sekedar sadar, bahkan lebih jauh dari itu kita mau
dan berupaya dengan penuh kesungguhan untuk menjalankan peran terbaik
kita sebagai hamba yang telah dihadirkan-Nya di dunia ini.
Al-Islaamu
ya’lu wa laa yu’la ‘alaihi. Islam itu tinggi dan tidak ada yang mampu
menyaingi ketinggiannya. Begitulah pernyataan berharaga dari guru saya
(hafizhahullaahu ta’ala –semoga Allah ta’ala senantiasa menjaga beliau)
yang masih saya ingat sampai sekarang.
Penganut Islam
sejati tentu sudah tidak ragu lagi dengan konsep tersebut. Jika masih
juga ada keraguan, itu artinya yang bersangkutan perlu meninjau ulang
kembali keimanan di dalam dirinya.
Terlepas dari itu
semua, realitas yang ada hari ini ternyata malah menunjukan hal yang
beresebrangan dengan konsep tersebut. Islam terpojok dan seolah tak
punya nilai ketinggian sama sekali. Yang salah tentu bukanlah Islamnya,
melainkan para penganuntnya yang tidak mampu dan tidak berkeinginan kuat
menjadikan Islam sebagai sebenar-benar jalan hidup. Islam dan muslim
masih berada di dua bukit berbeda yang terpisah oleh lautan yang luas
membentang.
Maka, menjadi tepatlah jika sesekali kita meluangkan waktu untuk merenungkan kembali hakikat di balik kebenaran mutlak: Islam itu agama yang sempurna.
Semoga
hikmahnya bisa kembali kita dapatkan, karena ianya adalah harta
berharga kaum muslimin yang telah lama hilang. Mari kita cari dan
dapatkan kembali harta berharga tersebut.
---
Setidaknya,
ada tiga hal yang patut kita renungkan kembali berkaitan dengan cara
kita melihat setiap peristiwa yang terjadi di sekitar kita hari ini.
Mari kita renungkan kembali bagaimana sebetulnya Islam menuntun kita
dalam menghadapi itu semua.
Hal pertama yang patut kita renungkan adalah; lihatlah kembali diri kita.
Tanyakan
kepada diri kita, kenapa saya terlahir di jaman dunia yang seperti
sekarang ini? Apa maksud Allah menakdirkan saya terlahir di jaman dunia
yang seperti sekarang ini?
Lihatlah diri kita, dengan mengajukan pertanyaan tersebut.
Guna
mendapatkan jawabannya; mari kita terawangakan pikiran kita pada awal
mula jungjungan kita (rasuulullaah shallallaahu ‘alaihi wa salam)
hendak menjalankan perannya sebagai utusan Allah ta’ala. Bukankah Islam
memang mengajarkan kita untuk berbuat demikian? Menjadikan setiap
peristiwa yang dialami oleh rasuulullaah sebagai sarana pembelajaran
kita saat ini? Ada spirit hikmah berharga yang bisa dapatkan kembali
dalam tiap perjalanan hidup beliau.
Memasuki usia
beliau yang ke 40 tahun, kegusaran beliau akan kondisi penduduk Makkah
di jaman itu sudah sampai pada titik puncaknya. Kegusaran inilah yang
kemudian menjadikan beliau sering menyepi berdiam diri di sebuah gua
bernama gua Hira.
Beliau gusar melihat kenyaataan
hidup yang beliau hadapi saat itu. Beliau ingin merubah kondisi
tersebut, tapi bingung dan tak tau bagaimana cara merubahnya. Maka,
menyepi di gua Hira adalah pilihan yang beliau ambil kala itu. Saat
kondisi seperti itu, datanglah Jibril ‘alaihi salam dengan membawa
wahyu dari Allah. Jibril menyampaikan wahyu pertama dari Allah itu
dengan berkata, “Iqra!” (terj: bacalah!). Jungjungan kita (shallallaahu
‘alaihi wa salam) bingung dengan perintah Jibril tersebut. Beliau tak
bisa membaca. Sebagaimana kita tau, beliau adalah seorang ummi; tak bisa
membaca dan juga menulis. “Iqra!”, “Aku tidak bisa membaca.”, “Iqra!”,
“Aku tidak bisa membaca.”, “Iqra!” sampai tiga kali Jibril menyuruh
rasuulullaah untuk membaca.
Gusar mendapati kelakuan
orang-orang Makkah saat itu, beliau pun menyendiri di gua Hira. Saat
sedang menyendiri dengan ditemani perasaan gusar, datanglah Jibril
dengan perintah “Iqra!”-nya. Kegusaran beliau semakin menjadi-jadi
karena perintah Jibril tersebut. “Bagaimana aku membaca, sementara aku
seorang yang buta huruf?” Jika dibahasakan ke dalam bahasa kita, mungkin
begitulah kurang lebih jeritan hati rasulullaah tatkala beliau
mendapati perintah “Iqra!” dari Jibril.
Tak mampu;
inilah hal pertama yang rasuulullaah rasakan tatkala wahyu pertama
berupa kalimat perintah itu sampai kepada beliau. Kelemahan diri; inilah
hal pertama yang beliau tunjukkan tatkala perintah tersebut sampai pada
beliau.
Setelah perintah “Iqra!” yang ketiga kalinya
disampaikan Jibril kepada rasuulullaah, Jibril menyusul pertintah
“Iqra!” tersebut dengan kalimat, “bismikalladzii khalaq.” (terj: dengan menyebut nama tuhanmu yang menciptakan).
---
Mari
kita cerna hikmah di balik kisah di atas dengan sebaik-baik mencerna;
pelajaran berharga apakah yang bisa kita dapatkan dari runutan dialog
antara Jibril ‘alaihi salam dan rasuulullaah shalallaahu ‘alaihi wa
salam di atas?
Rasuulullah menyambut perintah Allah
yang disampaikan melalui Jibril itu dengan respon ketidakmampuan untuk
melaksanakan perintah tersebut. Kenapa tidak mampu? Karena yang beliau
lihat pertama kali dari diri beliau adalah kelemahannya (baca: tak bisa
membaca dalam arti yang sebenarnya), bukan kekuatan dan potensi lain
yang dimilikinya. Di sinilah Allah ta’ala (melalui Jibril) hendak
mengajarkan kepada beliau (dan juga kepada kita) terkait cara merubah
persepsi terhadap suatu pekerjaan yang nampak mustahil untuk dikerjakan.
Suatu
pekerjaan yang seolah mustahil untuk dikerjakan itu akan benar-benar
menjadi hal mustahil jika kita hadapi dengan kekurangan yang kita
miliki. Tapi, kita masih punya harapan besar untuk dapat mengerjakannya
jika persepsi kita terhadap pekerjaan itu kita rubah. Pikirkanlah
kelebihan yang kita miliki untuk mengerjakan urusan tersebut, jangan
malah berfokus pada kelemahan yang kita miliki. Bacalah! Dengan menyebut nama tuhanmu yang menciptakan. Kerjakanlah! Setrakan tuhanmu dalam pekerjaanmu! Dengan begitu, kekuatan kita akan semakin berlipat, insya Allah.
Lihatlah
diri kita! Kita terlahir dan hidup di saat dunia sedang memiliki
permasalahan-permasalahan sebagaimana kita rasakan hari ini. Kita hidup
di jaman di mana Islam dan para penganutnya kembali terpisah pada dua
bukit yang berbeda. Islam berada di satu bukit, sementara muslimnya
berada di bukit yang lain. Maka, berpikir dan bekerjalah dengan keras
(dengan cara berfokus pada kelebihan yang kita miliki) agar Islam dan
muslim itu bisa kembali menyatu pada satu bukit yang sama.
Sadar
akan problem yang menimpa ummat saat ini adalah sebuah anugrah yang
sedemikian berharga. Namun tentu sadar saja tidak cukup, kesadaran itu
harus mampu membuahkan kerja nyata untuk memperbaiki segala macam
permasalahan tersebut. Sertakan Allah ta’ala dalam tiap upaya kerja
kita, insya Allah dengan demikian kekuatan kita akan semakin berlipat.
Allaahu ta'ala a'lam.
Tangerang, 19.10.2013
0 komentar